0

Lain²

Menjawab Luka dengan Referendum

No Gravatar

KISRUH soal keistimewaan Yogyakarta dalam beberapa pekan terakhir tidak terlepas dari faktor nihilnya kejujuran. Kejujuran mengakui bahwa pemerintah pusat tidak memiliki cukup bekal untuk menerjemahkan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Juga tidak ada keberanian untuk berterus terang bahwa ada yang ‘lupa’ mempelajari sejarah panjang Yogyakarta. Cara berpikir yang meletakkan Yogyakarta pada kutub monarki sehingga bertabrakan dengan demokrasi adalah fakta telanjang yang menegaskan minimnya pemahaman sejarah tersebut.

Karena itu, ketika pusat menghendaki Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dipilih dengan dalih menyelaraskan demokrasi, bukan ditetapkan sebagaimana selama ini, warga Yogyakarta pun merasa dicederai.

Mereka terusik, kecewa, terluka, bahkan marah. Warga Yogyakarta pun menantang pusat menggelar referendum untuk melihat apa yang diinginkan rakyat.

Lebih dari seribu warga telah mendirikan posko relawan referendum yang berada di sebelah timur Alun-Alun Utara Yogya. Spanduk dan bendera relawan referendum pun terpampang di berbagai sudut kota.

Bahkan, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto pun mengibarkan bendera setengah tiang di halaman rumahnya, kemarin. Aksi itu dilakukannya seorang diri sebagai ungkapan duka atas kontroversi RUU Keistimewaan Yogyakarta.

Pemerintah mestinya melihat keinginan referendum itu sebagai fakta demokrasi. Bukankah substansi demokrasi adalah apa yang dikehendaki rakyat?

Celakanya, ketika perlawanan warga mengeras, debat seputar keistimewaan Yogyakarta pun dibelokkan ke sana-kemari. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membawa debat Yogyakarta ke wilayah personal.

Dalam pidatonya kala memberikan penghargaan kepada kepala daerah berprestasi, Yudhoyono merasa telah diadu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X oleh media massa. Padahal, apa yang ditulis media massa adalah fakta yang berkembang di masyarakat.

Pusat jelas berkeinginan menghabisi keistimewaan kepala daerah Provinsi Yogyakarta. Akan tetapi, pusat menebar kepura-puraan, yang sekalipun dibungkus dengan dalih demi tegaknya demokrasi, tetap saja tampak sebagai ketidaktulusan. Karena itu, sudahlah, akui saja kesalahan dalam cara memandang keistimewaan Yogyakarta. Segeralah meminta maaf lalu kembalikanlah Yogyakarta ke pangkuan semula sebagaimana dikehendaki rakyat.

Berbusa-busa dengan jurus penjelasan yang sejatinya tidak tulus hanya akan menambah luka rakyat Yogya. Kalau terus pusat memaksakan kehendak, jangan heran desakan dan tekanan untuk diselenggarakannya referendum akan semakin kencang.

Bila itu yang terjadi, ongkosnya terlalu mahal bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2010/12/13/187721/70/13/Menjawab-Luka-dengan-Referendum

Leave a Reply

Comment validation by @

*